Selasa, 08 Maret 2011

Cinta Jiwa…butuh sentuhan fisik

“ Ya Allah, yang memperjalankan unta-unta, menurunkan kitab-kitab, memberi para pemohon, aku memohon pada-Mu agar Engkau mengembalikan suamiku yang telah pergi lama, agar dengan itu Engkau lepaskan resahku. Engkau gembirakan mataku. Ya Allah, tetapkanlah hukumMu diantara aku dan khalifah Abdul Malik bin Marwan yang telah memisahkan kami “
Do’a tersebut adalah do’a istrinya khalifah, yang dilantunkan setiap malam saat hatinya tengah dirundung hasrat dan rindu, saat cemas menanti karena suaminya telah lama pergi…meski sebenarnya untuk berjihad, tapi cinta tetaplah cinta. Walaupun untuk jihad, perpisahan selalu membakar jiwa dengan rindu.
Dan itulah salah satu tabiat yang membedakan cinta jiwa dari cinta misi; pertemuan jiwa dalam cinta jiwa hanya akan menjadi semacam penyakit jika tidak berujung dengan sentuhan fisik. Di sini rumus bahwa cinta tidak harus memiliki tidak berlaku.
Cinta jiwa bukan sekedar kecenderungan spiritual seperti yang ada dalam cinta misi. Cinta jiwa mengandung kadar syahwat yang besar. Dari situ akar tuntutan sentuhan fisik berasal. Atau disebut juga “passionate love”. Tanpa itu, cinta jiwa akan menjelma menjadi kerinduan yang membawa semua penyakit. Sebagiannya hanya akan berujung kegilaan. Seperti yang dialami Qais dan Laila.
Ini mengapa kita diperintahkan mengasihi para pecinta, supaya mereka terhindar dari cinta yang seharusnya menjadi energy lantas berubah jadi sumber penyakit. Maka sentuhan fisik dalam semua bentuknya adalah obat paling mujarab bagi rindu yang tek pernah selesai. Ini juga penjelasan mengapa hubungan badan antara suami istri merupakan ibadah besar, tradisi kenabian dan kegemaran orang shalih. Sebab, kata ibnu Qayyim dan Imam Ghazali, ia mewariskan kesehatan jiwa dan raga, mencerahkan pikiran, meremajakan perasaan, menghilangkan pikiran dan perasaan buruk, membuat kita lebih awet muda dan mempermudah hubungan cinta kasih. Makna sakinah dan mawaddah adalah ketenangan jiwa yang tercipta setelah gelora hasrat terpenuhi.
Cinta jiwa hanya dapat bersemi dalam perkawinan, atau dapat disebut juga cinta jiwa ini harus sampai di pelaminan. Karena tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik. Berdasarkan kisah istri khalifah… seorang istri shalehah saja, takkan kuat bila dirinya lama ditinggalkan oleh suaminya, meski untuk berjihad…apatah lagi bagi pecinta-pecinta yang tak sampai dipelaminan, maka energy cintanya akan menjadi sumber penyakit. Berdasarkan kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan juga kisah di masa Umar bin khatab… berapa lama wanita bisa bertahan sabar untuk menunggu dan hasratnya tak terpenuhi…ternyata hanya enam bulan… Selain karena kerinduan dan hasrat, cinta jiwa akan menjadi lebih kuat atau menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik. Makin intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika sentuhan fisik jadi mustahil, maka cinta yang ini hanya akan berkembang jadi penyakit…
Jadi…lupakan cinta jiwa bila takkan sampai dipelaminan, karena hanya akan menjadi penyakit. Cinta jiwa harus diakhiri, bila peluang menuju pelaminan tertutup. Karena hanya disana cinta yang ini abash untuk tumbuh bersemi, disinggasana pelaminan.
Dan mari kita perkuat cinta jiwa yang telah sampai di pelaminan, jadikan cinta itu semakin bermakna slalu hidup… sehingga memberi energy kebaikan bagi kita untuk dapat mempersiapkan generasi Rabbani…sesuai cita-cita awal kita membangun pernikahan… smoga..
Disarikan dari catatannya Anis Matta dalam majalah Tarbawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar